MAKALAH

AKAD DAN PRODUK BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Bank dan Lembaga Keuangan Syariah

Dosen Pengampu: Luqman Nurhisam, M.S.I




Disusun oleh:

Lilis Faizatul Amalia                           2020110076

Muhammad Iqbal Jalaluddin              2020110078

Arief Nugraha                                     2020110081

  


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM 

TAHUN 2021

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur (alhamdulillah wa syukur lillah) dipersembahkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan shabatnya, dengan harapan semoga umatnya dapat mengikuti akhlak dan budi pekerti yang mulia.

Makalah ini berjudul “Akad dan Produk Bank dan Lembaga Keuangan Syariah ” dan disusun dalam rangka memenuhi tugas Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Luqman Nurhisam, M.S.I . selaku dosen pembimbing mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Syariah yang senantiasa membimbing dan memberikan ilmunya kepada kami. Kami juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan dan masih jauh dari kata sempurna dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran kepada pembaca yang bersifat membangun.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya dan kepada pembaca guna memperkaya ilmu pengetahuan tentang materi yang kami sampaikan dalam makalah ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Saat ini banyak berkembang Bank ataupun lembaga keuangan yang berdasar atau dengan label syari’ah, dengan inovasi baru ini meberi kesempatan bagi para pelaku ekonomi yang sekaligus ingin menjalankan semua kegiatan ekonomi khususnya dalam bidang jasa perbankan supaya lebih terjamin dengan didukung dengan adanya Undang-Undang pendukung pengoprasian lembaga keuangan bank ataupun non-perbankan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam.

Lembaga bisnis Islami (syariah) merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mengatur aturan-aturan ekonomi Islam. Sebagai bagian dari sistem ekonomi, lembaga tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial.

Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perjudian, peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam. Untuk itu dalam struktur Lembaga Keuangan Syariah harus terdapat lembaga fasilitator yang menjamin produk dan operasional lembaga tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari Akad?

2. Apa saja Macam Macam Produk Bank Syariah?

3. Bagaimana Bentuk Lembaga Keuangan Syariah?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian Akad

2. Mengetahui macam macam produk bank syariah

3. Mengetahui bentuk lembaga keuangan syariah

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengertian Akad

       Secara bahasa, Akad berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau persetujuan, sedangkan menurut istilah akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan.

Akad Bank Syariah yaitu yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan  ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering kali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dialkukan apabila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban sampai yaumil qiyamah nanti.

Fiqh muamalah membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalaqh kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya. Sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia /mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.

Selanjutnya dari segi ada atau tidak adanya kompensasi, akad dibagi menjadi dua bagian, yakni:[1]

1. Akad Tabarru’

Tabarru’ berasal dari bahasa Arab yaitu kata birr, yang artinya kebaikan. Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. Tapi ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.

Pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad yang melakukan kebaikan dengan mengharapkan imbalan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi logisnya bila akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi tergolong akad tabarru’, namun ia akan tergolong akad tijarah. Bila ia ingin tetap menjadi akad tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat (keuntungan komersil) dari akad tabarru’ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’. Artinya ia boleh meminta pengganti biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan akad tabarru’.

Akad tabarru’ terbagi dalam tiga jenis transaksi, yaitu: [2]

a. Transaksi Meminjamkan uang (lending)

1) Qardh yakni transaksi pinjam meminjam uang. Di dalam Islam transaksi ini tidak bileh dikenakan tambahan atas pokok pinjaman atau yang umum dikenal sebagai bunga pinjaman. Hukum pengenaan bunga atas pinjaman adalah riba, suati hal yang harus dihindari karena haram. Di bank syariah akad qardh digunakan untuk pembiayaan talangan haji dan pembiayaan qardhul hasan.

2) Rahn yakni pemberian pinjaman uang dengan penyerahan barang sebagai agunan, contohnya transaksi gadai emas.

3) Hiwalah yakni pemberian peminjaman uang bertujuan untuk menutup pinjaman di tempat/pihak lain, contohnya transaksi pengalihan hutang b. Meminjamkan jasa (lending yourself)

b. Meminjamkan jasa (lending yourself)

1) Wakalah yakni transaksi perwakilan, dimana satu pihak bertindak atas nama/mewakili pihak lain. Contohnya transaksi jasa transfer uang, inkaso, kliring warkat cek dan bilyet giro.

2) Kafalah yaknu transaksi penjaminan satu pihak kepada pihak lain. Contohnya penerbitan L/C, bank garansi dan lain-lain

3) Wadiah yakni transaksi titipan, dimana satu pihak menitipkan barang kepada pihak lain.   Contohnya tabungan wadi’ah, giro wadi’ah dan safe deposit box.[3]

c Memberikan sesuatu (giving something)

Yang termasuk kedalam golongan ini adalah akad-akad sebagai bertikut:

seperti akad Hibah, Waqf, Shadaqah dan Hadiyah. Akad tabarru’ ini adalah berupa akad untuk mencari keuntungan akhirat bukan akad bisnis. Jadi akad seperti ini tidak bisa digunakan untuk akad komersil. Bank syariah sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba tidak dapat mengandalkan  akad tabarru’ untuk mendapatkan laba. Bila tujuannya untuk mendapatkan laba, maka bank syariah menggunakan akad-akad yang bersifat komersil, yakni akad tijarah. Namun demikian  bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak sapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataanya penggunaan akad tabarru’ sangat fital dalam transaksi komersil, karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau memperlancar akad-akad tijarah. [4]

Seperti produk talangan haji pada bank syariah mandiri. Produk ini bank menggunakan akad Qardh wal Ijarah. Dalam hal ini bank memberikan talangan kepada nasabah untuk ongkos hajinya. Atas talangan yang diberikan ini bank menggunakan akad qardh dan nasabah akan membayarnya sejumlah talangan nasabah yang diberikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Disamping akad qardh ini, bank juga menggunakan akad ijarah, dalam akad ijarah ini bank mendapatkan keuntungan berupa fee/ujrah. Ujrah diberikan atas dasar pemakaian sistem komputerisasi haji.

2. Akad Tijarah

Akad tijarah/muawadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for pofit transaction. Akad ini digunakan mencari keuntungan, karena itu akad ini bersifat komersil. Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Natural Certainty Contracts (NCC)

            NCC adalah suatu jenis kontrak atau transaksi dalam bisnis yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatannya baik dari segi jumlah dan waktu penyerahannya.[5] Dalam NCC kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyrahannya (time of delivery). Jadi, kontrak-kontrak ini secara “sunnatullah” ( by their of nature) menawarkan return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah akad jual beli dan sewa.

Pada dasarnya ada empat akad jual beli yaitu :

1) al-Bai’ Naqdan adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan secara tunai. Dengan kata lain pertukaran atau penyerahan uang dan barangnya dilakukan dalam waktu yang bersamaan

2) al-Bai’ Muajjal adalah akad jual beli yang pembayarannya biasa dilakukan secara tidak tunai atau secara cicilan. Dengan kata lain barangnya diserahkan di awal akad sedangkan uangnya diserahkan belakangan baik secara cicil atau lump sum.

3) Salam adalah akad jual beli dengan sistem pesanan sedangkan pembayarannya tunai atau bayar dimuka dan penyerahan barangnya belakangan.

4) Istishna’ adalah akad jual beli dengan sistem pesanan yang penyerahan barangnya belakangan dan pembayarannya bisa dicicil, bisa juga lump sum di akhir akad.

b. Natural Uncertainty contracts (NUC)

Dalam NUC, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan assetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan dan kerugianditanggung bersama oleh masing-masing pihak. Karena itu kontrak ini tidak memberikan kepastian pendapatan (return), baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing)-nya. Yang termasuk dalam kontrak ini adalah kontrak-kontrak investasi. Kontrak investasi ini secara “sunnatullah” (by their nature) tidak menawarkan return yang tetap dan pasti. Jadi sifatnya tidak “fixed and predetermined” seperti akad musyarakah, mudharabah, musaqah dan mukhabarah.

B. Macam Macam Produk Bank Syariah    

1. Produk Penghimpunan Dana dari Masyarakat (Funding)

Jenis-jenis produk perbankan syariah yang ditawarkan di bidang penghimpunan dana dari masyarakat (funding) hampir sama dengan produk funding yang ada di bank konvensional. Seperti nama produk yang ditawarkan kedua lembaga perbankan tersebut sama-sama bernama giro, tabungan dan deposito. Namun perbedaannya adalah dari segi prinsip dan akad yang digunakan sehingga jenis keuntungan yang diberikan kepada masyarakat pun juga berbeda. Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis akan menjelaskan berbagai produk funding yang ada di bank syariah.

a. Giro Syariah

Giro merupakan simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya atau dengan pemindahbukuan. [6]Pada bank syariah produk giro dikenal dengan nama giro syariah. Giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.[7]

1) Giro Wadiah

Yang dimaksud dengan giro wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah, yakni titipan dana yang berasal dari pihak ketiga (nasabah) pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, Bilyet Giro, kartu ATM, serta sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan. Nasabah yang memiliki simpanan giro wadiah akan memperoleh nomor rekening dan disebut juga dengan giran (pemegang rekening giro) wadiah.

 Giro wadiah menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana bank boleh menggunakan dana  nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka.

Ada beberapa alasan masyarakat menyimpan dana dalam bentuk simpanan giro wadiah antara lain :

a) Faktor keamanan dalam menyimpan dana

b) Kemudahan dalam melakukan transaksi pembayaran

c) Berjaga-jaga apabila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendadak.

2)  Giro Mudharabah

Yang dimaksud dengan giro mudharabah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip mudharabah. Prinsip mudharabah mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Perbedaan utama dari kedua bentuk mudharabah itu terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik dana kepada bank dalam mengelola dananya, baik dari sisi waktu, tempat maupun objek investasinya. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana).

Nasabah pemilik rekening giro mudharabah berhak memperoleh bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal pembukaan rekening. Bank syariah menanggung semua biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah bagi hasil yang menjadi haknya. Di samping itu bank syariah tidak diperkenankan mengurangi nisbah nasabah tanpa persetujuan nasabah. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, PPH bagi hasil giro mudharabah dibebankan langsung ke rekening giro mudharabah pada saat perhitungan bagi hasil. [8]

Rekening giro mudharabah ini hanya bisa dimiliki oleh para pengusaha yang memiliki aliran keuangannya rutin cuma beberapa kali saja dalam kurun waktu tertentu. Karena dalam akad mudharabah jangka waktu investasi harus jelas, agar perhitungan bagi hasilnya lebih mudah dilakukan oleh bank syariah selaku pihak pengelola dana yang dinvestasikan oleh nasabah.

b. Tabungan Syariah

Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.

1) Tabungan Wadiah

Tabungan merupakan jenis simpanan yang sangat populer di lapisan masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat pedesaan. [9]Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008 tabungan adalah simpanan berdasarkan wadiah dan atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati (buku tabungan, slip penarikan, ATM dan sarana lainnya), tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. [10]

Tabungan wadiah adalah produk bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving account) untuk keamanan dan pemakainnnya, seperti giro wadiah, tetapi tidak sefleksibel giro wadiah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek.

Seperti halnya dengan giro wadiah, tabungan wadiah juga menggunakan akad wadiah yad dhamanah dimana bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan bank yang diperoleh dengan penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus tidak ditetapkan dimuka.

2) Tabungan Mudharabah

Tabungan mudharabah merupakan salah satu produk penghimpunan dana oleh bank syariah yang menggunakan akad mudharabah muthlaqah. Sama halnya dengan giro mudharabah, dalam tabungan mudharabah, bank syariah juga bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabahnya bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Bank syariah memiliki kebebasan dalam mengelola dana, dengan kata lain nasabah tidak ada memberikan batasan-batasan kepada bank syariah dalam mengelola dananya.

 Setelah bank syariah mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank syariah akan memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Setelah bank syariah mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan membagi keuntungan tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di awal pembukaan rekening.

 Sesuai dengan akad yang digunakannya yaitu mudharabah, maka dana tabungan mudharabah sifatnya berjangka. Dengan begitu jangka waktunya harus jelas dan disepakati di awal, sehingga dana tabungan mudharabah tidak bisa ditarik kapan saja si nasabah membutuhkannya. Contoh produknya adalah tabungan haji, tabungan pendidikan dan lain-lain.

c. Deposito Syariah

Selain giro dan tabungan syariah, produk perbankan syariah lainnya yang termasuk produk penghimpunan dana (funding) adalah deposito. Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah.

Deposito merupakan dana nasabah yang ada pada bank yang penarikannya dapat dilakukan pada saat jatuh tempo atau jangka waktu yang ditentukan. Misalnaya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya. Pada produk deposito ini bank menggunakan prinsip bagi hasil. [11]

Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, bank syariah juga bertindak sebagai mudharib (pengelola dana) sedangkan nasabahnya bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana). Jika akad yang digunakan mudharabah muthlaqah, maka bank syariah juga bisa memiliki kebebasan dalam mengelola dana, dengan kata lain nasabah tidak ada memberikan batasan-batasan kepada bank syariah dalam mengelola dananya. Namun apabila akad yang digunakan mudharabah muqayyadah, maka bank syariah tidak akan bisa memiliki kebebasan dalam mengelola dana nasabah.

Sama halnya dengan giro dan tabungan mudharabah, setelah bank syariah mengelola dana nasabah, maka insya Allah bank syariah akan memperoleh keuntungan dari investasi yang dilakukannya. Setelah bank syariah mendapatkan keuntungan, maka bank syariah juga akan membagi keuntungan tersebut dengan nasabahnya. Sesuai dengan kesepakatan nisbah bagi hasil di awal pembukaan rekening.

2. Produk Penyaluran Dana kepada Masyarakat (Financing)

a. Produk pembiayaan perbankan syariah derdasarkan prinsip jual-beli

Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). [12]Aplikasinya dengan menggunakan akad murabahah, salam dan istishna’.[13]

1) Pembiayaan Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual (bank syariah) dan pembeli (nasabah). Harga yang disepakati adalah harga jual sedangkan harga pokok harus diberitahukan kepada nasabah. Bank syariah dapat memberikan potongan harga jika nasabah mempercepat pembayaran cicilan dan melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo. Dan jika bank mendapatkan potongan dari pemasok maka itu merupakan hak pembeli (nasabah), namun jika potongannya didapatkan setelah akad terjadi maka potongan itu dibagi menurut kesepakatan atau sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah. Dalam konsep ini bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan atau agunan antara lain yaitu barang yang dibeli nasabah. Bank syariah juga dapat meminta urbun sebagai uang muka. Dalam konsep ini nasabah memiliki kewajiban membayar sesuai dengan harga jual (harga pokok margin) yang sudah disepakati baik secara tunai maupun cicilan sesuai dengan kesepakatannya.

2) Pembiayaan Salam

Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan pembayaran dimuka menurut syarat-syarat tertentu, atau jual beli sebuah barang untuk diantar kemudian dengan pemayaran di awal. [14]Salam juga didefinisikan sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dan penjual (muslam ilaih) dengan pembayaran dimuka dan pengiriman barang oleh penjual dibelakang. Spesifikasi (ciri-cirinya seperti jenis, kualitas, jumlahnya) dan harga barang harus disepakati pada awal akad. Dalam konsep ini bank bisa bertindak sebagai penjual dan pembeli. Bila bank bertindak sebagai penjual, maka bank memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan (Salam paralel). Syaratnya adalah akad kedua terpisah dari akad yang pertama dan akad yang kedua dilakukan setelah akad pertama sah. Kemudian spesifikasi dan harga barang harus disepakati di awal akad. Harga barang tidak dapat berubah selama jangka waktu akad dan jika bank sebagai pembeli dapat meminta jaminan untuk menghindari risiko yang merugikan. Konsep salam paralel ini biasanya diaplikasikan pada pembiayaan bagi para petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabe, dan bank juga tidak berniat untuk untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan persediaan atau inventory, maka dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang apasar induk atau grosir. Konsep salam juga dapat diaplikasikan dalam pada pembiayaan bidang industri misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal oleh umum.

3) Pembiayaan Istishna’

Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan produsen yang juga bertindak sebagai penjual. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya. Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna maka hal ini disebut istishna paralel.

Dalam prinsip ini, pembuat barang mnerima pesanan dari pembeli. Kemudian pembuat barang berusaha melalui orang alain untuk membuat atau membeli barang sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati kemudian menjualnya kepada pembeli. Menurut Jumhur Fuqaha, istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad salam. Biasanya konsep ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian istishna mengikuti ketentuan dan aturan dalam konsep akad salam.

Dimana perbedaan antara salam dengan istishna adalah sebagai berikut:

Salam

Istihna

Barang terukur dan tertimbang

Harus di ukur dan ditimbang, modelnya dipesan

Uang / modal dimuka

Bisa dimuka, dicicil sampai selesai atau dibelakang

Barang milik pembeli

Barang milik pembuat

Akadnya mengikat

Akadnya bersifat tidak mengikat

 

b. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip sewa-menyewa

Prinsip sewa menyewa pada dasarnya adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah terbagi atas dua macam yaitu:

1) Pembiayaan Ijarah

Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah) dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa yang disewakannya.

2) Pembiayaan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)

Merupakan akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah) dengan penyewa (nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi pemindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad yang disepakati di awal. Pemindahan hak milik dalam IMBT dapat melalui :

a.  Hadiah

b. Penjualan sebelum akad berakhir sebesar harga yang sebanding dengan sisa cicilan sewa

c. Penjualan pada akhir masa sewa dengan pembayaran tertentu yang disepakati pada awal akad

d. Penjualan secara bertahap sebesar harga tertentu yang disepakati dalam akad

Pihak yang melakukan akad IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan detelah masa ijarah selesai. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d yang hukumnya tidak mengikat. Apabila perjanjian itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Bank syariah boleh meminta nasabah untuk mnyediakan jaminan atas barang yang disewa untuk menghindari risiko yang merugikan bank.

c. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip bagi hasil

Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana.[15] Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk akad yang berdasarkan prinsip ini adalah:

1) Pembiayaan Mudharabah

Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. [16]Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua jenis:

a) Mudharabah Muthlaqah

Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b) Mudharabah Muqayyadah

Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana mudharib memberikan batasan kepada shahibul maal mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.

2) Pembiayaan Musyarakah

Musyarakah berarti kemitraan dalam suatu usaha dan dapat diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan, serta menikmati hak dan tanggung jawab yang sama. [17]Dengan kata lain merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dua jenis musyarakah:

a). Musyarakah pemilikan, tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih.

b). Musyarakah akad, tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.

d. Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip pinjam meminjam yang bersifat sosial

Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.

Pembiayaan yang menggunakan akad qardh hanya untuk membantu dan memberikan kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesusahan dalam keuangan. Menurut Sabiq haram bagi yang memberikan bantuan untuk mengambil keuntungan, apalagi mengeksploitasi karena ini digolongkan kepada riba. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah saw sebagaimana riwayat dari al-Harith bin Abi Usamah dari Ali r.a yang artinya: “setiap akad qardh dilaksanakan dengan mengambil keuntungan , maka ia tergolong kepada riba.”[18]

3. Produk Pelayanan Jasa (Fee Based Income Product)       

Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip wakalah, kafalah, sharf, hawalah dan rahn ini antara lain:[19]

1) Wakalah

Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.

2) Kafalah

Jaminan yang diberikan oleh bank syariah (penanggung) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban nasabah (pihak kedua atau yang ditanggung). Contoh produknya adalah garansi bank.

3) Sharf

Sharf adalah jual beli atau pertukara mata uang. Asalnya mata uang hanya emas dan perak, uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata uang tersebut disebut dengan mata uang intrinsik. Zaman sekarang mata uang juga berbentuk nikel, tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu. Mata uang seperti itu disebut dengan mata uang menurut nilai nominal. Pertukaran mata uang boleh dilakukan asalkan transaksinya dilakukan dalam jumlah yang sama dan dalam waktu yang bersamaan.

4) Hawalah

Adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada factoring (anjak piutang), post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

5) Rahn

Adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.

C.  BENTUK LEMBAGA KEUANGAN   

Lembaga Keuangan Syari'ah adalah sebuah lembaga keuangan yang prinsip operasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari'ah Islamiah.

Lembaga keuangan bank diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia Dan untuk perbankan syariah diatur dalam Undang-Undan No. 21 Tahun 2008.

Adapun Lembaga Keuangan non bank (LKNB/Nonbank Financial Institution) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat guna membiayai investasi perusahaan. Lembaga Keuangan non bank diatur dengan Undang-Undang :

UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasurasian

UU No. 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun

UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Pasar Modal

UU No. 40 TAhun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara

Berdasarkan pembagian tersebut, maka yang termasuk dalam lembaga keuangan syariah bank dan lembaga keuangan syariah non bank, diantaranya:

Yang termasuk lembaga keuangan syariah bank:

Bank Umum Syariah

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Yang termasuk lembaga keuangan syariah nonbank yaitu :

Bait al-Mal wa al-Tanwil/koperasi

Pegadaian Syariah

Asuransi Syariah

Pasar Modal Syariah

Dana Pensiun Syariah

Lembaga Zakat dan wakaf

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa akad, produk bank dan lembaga keuangan syariah merupakan dua hal yang tak dapat terpisahkan. Karena setiap produk yang ada di bank syariah selalu berdasarkan kepada akad dan prinsip-prinsip syariah Islam.

Diantaranya adalah :

1. Produk penghimpunan dana terdiri dari:

a. Giro syariah menggunakan akad wadiah dan mudharabah

b. Tabungan syariah menggunakan akad wadiah dan mudharabah

c. Deposito syariah menggunakan akad mudharabah

2. Produk penyaluran dana terdiri dari :

a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil akadnya adalah mudharabah dan musyarakah

b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli, akadnya adalah murabahah, salam dan

istishna’

c. Pembiayaan dengan prinsip sewa, akadnya adalah ijarah dan IMBT

d. Pembiayaan dengan prinsip tolong menolong akadnya adalag Qardh

3. Produk jasa terdiri dari : jasa-jasa yang menggunakan akad Wakalah, Kafalah, Hiwalah, Sharf dan Rahn

4. lembaga keuangan syariah

Lembaga Keuangan Syari'ah adalah sebuah lembaga keuangan yang prinsip operasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari'ah Islamiah.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University                 Press, 2007

Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga : Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi                             Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada,                 2007

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2007

            Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro

Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011

Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan Prospek,                     Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007

M. Syafi’I Antonio, dkk., Bank Syariah: Analisis Kekuatan , Kelemahan, Peluang dan Ancaman,             Yogyakarta : Ekonisia, 2006

Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2009

Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami Akuntansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan             PAPSI, Jakarta: PT. Grasindo, 2006

Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi,                             Yogyakarta: Fajar Media Press, 2012

Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan                             Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2003 Undang-Undang                 Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Wiroso, Produk Perbankan Syariah, Jakarta : LPFE Usakti, 2009

Yusak laksmana, Panduan Praktis Account Officer Bank Syariah, Jakarta : Gramedia, 2009



DAFTAR PUSTAKA

 



[1] adiwarman karim, bank islam analisis fiqh dan keuangan, (Jakarta: raja grafindo persada, 2007), ed. 3, hlm. 66

[2] yusak laksmana, panduan praktis account offcer bank syariah, (Jakarta: gramedia, 2009), hlm, 10-11

[3] tim pengembangan perbankan syariah institut banker Indonesia, konsep produk dan implementasi operasional bank syariah, (Jakarta: djambatan, 2003), hlm, 73

[4] adiwarman karim, bank islam analisis fiqh……2007.,,hlm. 70

[5] slamet wiyono, cara mudah memahami akuntansi perbankan syariah berdasarkan PSAk dan PAPSI, (Jakarta: PT. grasindo, 2006), hlm. 37

[6] undang undang rebuplik Indonesia nomer 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah

[7] fatwa dewan syariah nasional nomer 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang giro

[8] adiwarman karim, bank islam analisis fiqh…….2007., hlm. 294

[9] ismail, perbankan syariah, (Jakarta: kencana prenada media group, 2011), hlm. 74

[10] wiroso, produk perbankan syariah, (Jakarta: LPFE usakti, 2009), hlm. 130

[11] abdul ghafur anshari, perbankan syariah di Indonesia, (Yogyakarta: gadjah mada university press, 2007), hlm. 94

[12] Muhammad, model model akad pembiayaan di bank syariah, (Yogyakarta: UII pres, 2009), hlm. 8

[13] andri soemeta, bank dan lembaga keuangan syariah, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 79

[14] ascarya, akad dan produk bank syariah, (Jakarta: raja grafindo persada, 2007), hlm. 169

[15] m. syafi”I Antonio, dkk., bank syariah: analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (Yogyakarta: ekonisia, 2006), ed. II, cet. I, hlm. 18

[16] Abdullah saeed, bank islam dan bunga : studi kritis larangan riba dan interpretasi kontemporer, (Yogyakarta: pustaka belajar, 2008), cet, III, hlm. 91

[17] mervyn K. lewis dan latifa M. algaoud, perbankan syariah : prinsip, praktik, dan prospek, (Jakarta: PT. serambi ilmu semesta, 2007), hlm. 63

[18] syukri iska, system perbankan syariah di Indonesia dalam perspektif fikih ekonomi, (Yogyakarta: fajar media prees, 2012), hlm. 179

[19] wiroso, produk perbankan……2009, hlm. 355

Komentar